Senin, 23 Mei 2011

Kugantikan Istrinya

Siang itu aku bermaksud mengajak sahabatku
jalan-jalan, maka kuhampiri ia di rumahnya. Saat
kuketuk pintu, ternyata yang membukakan adalah
ayahnya, yang selama ini aku kagumi. Ayahnya adalah
seorang tentara angkatan darat yang bertugas di
Semarang. Karena hari itu Sabtu, kupikir ia sedang
off.

"Angga ada, Pak?" tanyaku pada ayah Angga, yang kala
itu masih mengenakan seragam hijaunya lengkap tanpa
sepatu.
"Oo, Dik Bondan. Masuk dulu, Dik! Silakan duduk!"
katanya ramah mempersilakan aku untuk masuk dan duduk.
"Angga dan adiknya serta ibunya sedang ke Semarang.
Katanya ada urusan keluarga. Saya juga seharusnya ke
sana, tapi berhubung saya lelah, jadi saya urungkan
niat saya".
"O, gitu ya, Pak!" kataku sedikit kecewa.
"Benernya saya mau ngajak Angga jalan-jalan. Maklum,
habis ujian".
"Memangnya harus sama Angga? Nggak ada teman yang
lain?" tanya Pak Sigit, ayah Angga.
"Ya mau sama siapa lagi, Pak! Lha wong temen yang
paling deket dengan saya juga cuma Angga. Yang lain
paling udah punya acara sendiri-sendiri, Pak!" kataku
dengan logat Jawa yang cukup kental.
"Wah, kebetulan. Gimana kalau sama saya saja. Saya
juga lagi males di rumah sendirian" kata Pak Sigit
menawarkan.
"Tadi sih kirain ada istri saya, jadi bisa 'gituan'
setelah seminggu ini ditahan. Ee, malah ternyata istri
saya ke Semarang. Ya sudah, saya cuma bisa gigit
jari".
"O, ya nggak Papa, Pak!" jawabku singkat.
"Tunggu ya, Bapak ganti baju dulu!" katanya seraya
beranjak pergi.

"Oh My God! Aku akan jalan-jalan bareng Pak Sigit.
Cuma berdua, lagi. Duh, gimana ya rasanya? Asyik kali,
ya?" tanyaku dalam hati.
Terus terang, aku memang sangat suka pada ayah
sahabatku itu sejak pertama kali aku dikenalkan Angga
padanya. Walau Pak Sigit lebih pendek dariku, tapi
perawakannya begitu jantan. Tangan dan kakinya tampak
berotot, sementara bekas cukuran selalu membuatnya
tampak lebih macho. Aku belum pernah melihat Pak Sigit
bertelanjang dada, apalagi tanpa pakaian sepenuhnya.
Tapi, bukankah kesempatan itu pasti akan selalu ada
walau hanya sekali.
"Ayo, Dik Bondan" kata Pak Sigit sekeluar dari
kamarnya.
Suaranya yang khas membuatku tersadar dari khayalanku
tentang dirinya.

Akhirnya, dengan Pak Sigit sebagai pengendara, kami
berdua mulai meninggalkan kompleks rumah Pak Sigit.
"Keliling Jogja juga boleh, asal bisa melepaskan
penatku aja, Pak!" kataku pada Pak Sigit ketika ia
bertanya padaku tentang tujuan kami.
Selama perjalanan, aku tak henti-hentinya memandang
tubuh kekar Pak Sigit dari belakang. Sudah lama aku
impikan berdua sedekat ini dengannya. Kini, ia memakai
celana training tipis, kaos hijau ketat, dan jaket
yang membuatnya tampak lebih berwibawa.

Setelah beberapa waktu, aku mulai memberanikan diri
meletakkan kedua tanganku pada masing-masing paha Pak
Sigit. Tak tampak penolakan sedikitpun darinya.
Menyadari hal demikian, aku pindahkan tanganku,
sehingga kedua tanganku kini melingkar di perut Pak
Sigit. Hal ini pun juga tidak mengurangi konsentrasi
Pak Sigit dalam berkendara. Mungkin hal ini menjadi
hal biasa baginya, tapi bagiku ini adalah sebuah
kesempatan yang sangat sayang jika dilewatkan.

Kugesek-gesekkan tanganku secara perlahan pada
perutnya, dan ternyata dapat kurasakan kerasnya perut
Pak Sigit.
"Sebuah hasil dari latihan militer yang sedemikian
keras" pikirku.
Aksiku hanya sebatas menyentuh perutnya, tidak lain.
Aku tidak melakukan hal yang lebih jauh, karena aku
masih belum cukup bernyali untuknya. Akhirnya, dengan
tanganku yang melingkar di perut Pak Sigit, perjalanan
keliling Jogja kami habiskan dengan mengobrol kesana
kemari, termasuk seks.

Sebagaimana kudengar, Pak Sigit ternyata memiliki
libido yang cukup besar. Ia mengaku mudah terangsang
dan selalu ingin segera melampiaskan nafsunya itu.
Tapi untunglah, pekerjaannya mampu membantunya
menurunkan libido yang sering muncul secara tiba-tiba.
Biasanya, libido yang sempat ditahannya selama hampir
enam hari, ia salurkan dengan 'bergaul' dengan
istrinya, saat ia pulang ke Jogja pada hari Sabtu.
Setelah sekali main di sore hari, kemudian disambung
di malam harinya, lantas pada saat ayam jantan
berkokok. Itupun Pak Sigit mengaku masih kurang puas.
Biasanya secara diam-diam ia mengocok sendiri
kontolnya di kamar mandi.

Obrolan-obrolan kami itu ternyata telah membuat
kontolku ngaceng. Aku ingin berbuat yang lebih lagi
dengan Pak Sigit, tapi kuurungkan niatku itu karena
ternyata motor sudah membawa kami kembali ke kompleks
rumahnya. Setelah memarkir kendaraan, ia segera
mempersilakan aku duduk di ruang tamunya. Pak Sigit
masuk ke kamarnya, dan tak berapa lama kemudian ia
sudah keluar hanya dengan boxer dan kaos ketat
hijaunya. Kulihat sepintas, kontolnya agak menonjol di
balik celana berbahan katun itu.

Kami kembali terlibat dalam obrolan seru, namun kali
ini aku tidak begitu terfokus pada pembicaraan karena
aku lebih tertarik untuk mencuri-curi pandang ke
kontol Pak Sigit yang masih terbungkus boxer itu.
Sesekali, kulihat tangan Pak Sigit mengusap dan
menggaruk kontolnya.
"Trus kalau pas istri Bapak nggak ada gini, gimana
cara menyalurkan nafsu Bapak itu?" tanyaku selalu
menjurus pada hal-hal yang berbau seks.
Aku yakin bahwa ini akan membuka jalanku untuk berbuat
lebih jauh dengan Pak Sigit.

"Ya, biasanya sih suka ngocok sendiri. Nikmatnya sih
jauh beda dibanding sama istri. Lebih nikmat punya
istri" kata Pak Sigit dengan nada bercanda.
"Emangnya nggak mikir untuk nyoba dengan yang lain,
Pak?" tanyaku lagi.
"Maksudnya dengan pelacur, gitu?" tanyanya skeptis.
Aku hanya mengangkat bahuku.
"Nggak ah, takut penyakit. Siapa tahu di dalamnya
sudah banyak bibit penyakit yang nantinya malah nular?
Hii..!"
"Kan bisa pakai kondom, Pak!" kataku seolah mengejar
jawaban Pak Sigit.
"Rasanya kurang nikmat. Dulu pernah saya 'gituan' pake
kondom sama istri saya, dan saya kurang bisa
menikmati. Lebih enak alami, Dik!" katanya seraya
mengelus kontolnya lebih intens lagi.
"Udah kebelet ya, Pak?" tanyaku hati-hati.
Aku memberanikan untuk duduk mendekati Pak Sigit.
Kujulurkan tanganku ke kontolnya.
"Memangnya harus dengan istri Bapak? Gimana kalau sama
saya, Pak?".

Pak Sigit mengernyitkan dahinya tanda heran. Tangannya
menepis tanganku, tapi aku dengan berani meletakkannya
kembali ke atas gundukan di bagian depan celananya.
"Memangnya Dik Bondan yakin bisa mengimbangi libido
saya?" tanyanya padaku.
Aku tak memberi jawaban apapun, hanya saja tanganku
masih tetap mengelus bahkan meremas kontol Pak Sigit.
Akhirnya, tangan Pak Sigit meraih tanganku dan
membimbingku menuju sebuah kamar. Kupikir kamar itu
bukan kamarnya, karena sama sekali tidak menampakkan
sebuah kamar suami istri. Setelah kutanya, ternyata
Pak Sigit tidak mau menodai ranjangnya dengan
ber-intim dengan orang lain. Jadilah, Pak Sigit
memilih kamar Angga sebagai tempat kami ber-ah uh oh.

"Bisa pinjam jaketnya, Pak?" tanyaku ketika aku mulai
merebahkan tubuh Pak Sigit ke spring bed itu.
Ia segera beranjak dari rebahannya, dan mengambil
jaket yang tadi ia pakai, tanpa bicara. Kemudian, ia
memposisikan dirinya kembali seperti sedia kala. Jaket
itu kuletakkan di samping Pak Sigit, lantas aku duduk
di atas kontolnya yang sudah setengah ngaceng, dan
kusuruh ia menanggalkan kaosnya. Setelah ia melepas
kaosnya, tampaklah dengan jelas dada bidang berkulit
sawo matang, halus tanpa bulu. Bahu, dada, dan
perutnya tampak bagus tercetak oleh latihan militer
yang selama ini ia jalani. Ia lipat tangannya ke
belakang kepala, hingga ia berbantalkan kedua telapak
tangannya di atas sebuah bantal empuk.

Aku mulai menggoyang-goyangkan pantatku yang masih
mengenakan celana lengkap di atas kontol Pak Sigit.
Kali ini, bisa kurasakan kontol itu semakin membesar
dan memanjang.
"Buka pakaianmu!" perintah Pak Sigit dengan suara
paraunya.
Tampaknya ia telah terkuasai nafsunya. Aku tak
menuruti apa kata Pak Sigit kali ini. Aku masih duduk
di atas kontol Pak Sigit dan berlagak sebagai seorang
cowboy yang sedang ber-rodeo. Kudengar Pak Sigit
mengeluarkan desahan-desahan kecil.

Setelah melakukan aksi rodeo, lantas aku membuka boxer
Pak Sigit dengan mulutku. Kubuka perlahan ke bawah,
hingga kontolnya yang kini sudah ngaceng sepenuhnya
keluar dari sarangnya. Kontol yang disunat itu tampak
gagah dengan kepalanya yang memerah dan batangnya yang
berwarna coklat gelap. Aku tak tahu seberapa besar
kontol itu. Yang jelas saat kugenggam kontol itu dari
pangkalnya, sebagian dari batang dan kepalanya masih
jelas terlihat.

Kulucuti boxer itu, hingga kini tak selembar pun kain
yang menempel pada tubuhnya, kecuali bed cover
berbahan satin itu. Kuambil jaket, yang biasanya
dipakai oleh taruna angkatan udara itu, kemudian
kuperlakukan sedemikian rupa hingga kain halus yang
berwarna oranye berada di luar. Kedua tanganku
kuselimuti dengan jaket itu, dan kuletakkan bagian
berwarna oranye pada jaket mengelilingi kontol Pak
Sigit.

Pak Sigit sedikit tersentak dengan aksiku itu, tapi
detik selanjutnya ia merasakan nikmatnya dielus dengan menggunakan jaket itu. Tak henti-hentinya kudengar
desah nafas Pak Sigit, yang semakin membuatku ingin
bertindak lebih jauh. Setelah beberapa waktu meremas
dan mengelus kontol Pak Sigit dengan jaket, aku segera
melempar jaket itu ke lantai dan menggenggam erat
kontolnya dengan tangan kananku. Kuludahi kontol Pak
Sigit dan kugerakkan kontol itu naik turun.
"Dik Bondan.. Uuhh.. Nghh.. Terus, Dik!" kata Pak
Sigit di sela-sela desah kenikmatannya.

Tak ingin membuang banyak waktu, aku segera
mendaratkan kecupanku di batang kontol Pak Sigit.
Masih kugenggam batang itu, sambil kumainkan lubang
kencingnya dengan jempolku. Kali ini, tampaknya Pak
Sigit tidak mau melewatkan saat-saat dimana kontolnya
diperlakukan dengan nikmat. Ia duduk dan segera
menyandarkan badannya ke sandaran ranjang. Setelah
itu, ia memberiku kode untuk bermain dengan kontolnya
lagi. Pak Sigit mengangkangkan kakinya, memberiku area
yang lebih luas untuk bermain.

Aku segera meletakkan bibirku kembali ke batang
kontolnya, dan mulai menjilatinya. Kemudian aku
berpindah ke kepala kontolnya yang telah mengeluarkan
pre-cum. Kujiati seluruh pre-cum yang ada, dan
perlahan mulai kumasukkan kepala dan batang kontol itu
ke dalam mulutku. Senti demi senti telah masuk, namun
tak seluruhnya mampu kumasukkan. Aku mulai
menggerakkan kepalaku naik turun, mengemut batang
kontol coklat itu. Pak Sigit tidak tinggal diam
mendapati kontolnya diembat seorang lelaki. Ia meraih
bagian belakang kepalaku, dan meremas-remas rambutku.
Kakinya pun juga tak mau kalah berperan. Pak Sigit
terkadang mendekapkan pahanya erat-erat ke kepalaku.
Nafas Pak Sigit mulai menderu, seiring dengan gerakan
kepalaku yang kupercepat. Pantatnya juga
bergoyang-goyang menikmati sensasi yang dilahirkan
dari kontolnya yang sedang kukulum. Saat kurasakan Pak
Sigit sudah mencapai satu taraf dibawah orgasme, aku
segera menghentikan permainanku.

Aku berdiri, lantas turun dari ranjang. Kusuruh Pak
Sigit untuk berpura-pura memperkosa aku, dan ia
menurut. Ia mendekapku dari belakang, dan berlagak
seakan-akan mencekikku jika aku tidak menuruti apa
yang ia mau. Aku pasrah. Lantas, ia membanting tubuhku
ke ranjang, dan ia menindihku. Dengan penuh nafsu, Pak
Sigit membuka bajuku dengan paksa hingga beberapa
kancingnya terputus. Ia robek kaos dalamku dengan
tenaganya yang besar. Lantas, ia buka ikat pinggangku
dan memelorotkan celana yang kupakai hingga terlepas.
Aku berlagak merintih kesakitan, dan itu ternyata
semakin memperbesar nafsu Pak Sigit. Terakhir, ia buka
celana dalamku dan mengeluarkan kontol beserta buah
zakarku. Celana dalamku ia tarik sedemikian rupa
dengan sangat bergairah, hingga terlepas dari tubuhku.

Melihat tubuhku yang telanjang bulat terlentang di
ranjang, Pak Sigit segera menindihku. Kurasakan
kontolnya begitu keras menimpa kontolku, dan jembutnya
terkadang bergesekan dengan perut dan sebagian
kontolku. Tampaknya Pak Sigit sudah lupa dengan siapa
ia berbuat itu. Ia sudah terkuasai oleh nafsunya yang
membara. Ia ciumi bibirku dengan cekatan. Bekas
cukuran di wajahnya memberi sensasi tersendiri bagi
percumbuan kami. Kali ini aku benar-benar mendesah
mendapat perlakuan istimewa dari seorang Pak Sigit.
Kemudian, Pak Sigit segera memindahkan cumbuannya ke
leherku dan dadaku yang ditumbuhi sedikit bulu. Ia
jilat dan hisap pentilku, seperti sedang menyedot
milik istrinya.

Aku mengangkat bahu Pak Sigit, dan memberi tanda
padanya bahwa gantian aku yang melayaninya. Pak Sigit
mengambil posisi seperti saat aku ngemut kontolnya,
dan segera menyuruhku untuk menuntaskan pekerjaanku.
Tak langsung kuemut kontolnya, tapi kujialti dahulu
batangnya yang sudah basah oleh keringat. Tampaknya,
Pak Sigit sudah tak sabar menerima servis mulutku
lagi. Kedua tangannya sudah mencengkeram kepalaku dan
membimbingnya ke kontolnya yang masih sangat ngaceng.
Aku menaikturunkan kepalaku beberapa kali hingga saat
itu tiba. Entah sengaja atau memang refleks, Pak Sigit
mendorong kepalaku hingga hampir seluruh kontolnya
masuk ke mulutku.
"Aaahh..!" Desah nikmat terlontar dari mulut Pak Sigit
seiring dengan maninya yang menyemprot keras pangkal
mulutku.
Walau merasakan sebuah rasa yang aneh di lidah, tapi
aku tetap berusaha menelan semua pejuh yang
dipancarkan kontol Pak Sigit.
"Ohh.. Uhh.. Ooh.. " terdengar beberapa kali lenguhan
selama kontol Pak Sigit memuntahkan lahar putihnya.

Tetap kudiamkan kontol itu di dalam mulutku hingga
beranjak melemas. Kukeluarkan kontol Pak Sigit dari
mulutku dan kujilati sisa-sisa mani yang menempel pada
batang dan kepalanya. Kulihat ekspresi Pak Sigit
begitu puas dengan apa yang baru saja kulakukan. Ia
masih terengah-engah dengan wajah penuh peluh. Dadanya
yang coklat tampak mengkilat dibasahi butir-butir
keringatnya.

Aku menegakkan badanku, dan menyandarkannya ke dada
Pak Sigit yang masih basah. Kakinya ia silangkan ke
kakiku, dan kedua tangannya memeluh tubuhku dari
belakang.
"Terima kasih, Dik Bondan!" katanya seraya menciumi
leherku.
Kusandarkan kepalaku ke bahunya, hingga ia bisa
leluasa menjilat dan mencium leherku. Pak Sigit terus
saja memelukku, hingga satu jam kemudian kontolnya
mulai berdiri lagi.

Mengetahui hal ini, aku lantas meminta Pak Sigit untuk
mencicipi lobang anusku. Awalnya ia menolak, karena
tak ingin melihatku tersiksa. Namun, setelah
kuyakinkan bahwa nantinya aku akan merasa nikmat, ia
menyetujuinya. Ia lumuri kontolnya dengan ludahku dan
ludahnya, kemudian ia lumurkan sisanya ke anusku.
Setelah itu, ia meletakkan kedua kakiku di atas
pundaknya dan ia posisikan kontolnya di depan lubang
anusku. Ia mulai memasukkan kepala kontolnya, lantas
menghentikannya dikarenakan aku mengerang kesakitan.
Aku meyakinkannya bahwa aku akan baik-baik saja, tapi
ia tetap saja mengurungkan niatnya.

Sesaat kemudian, ia segera keluar dari kamar dan masuk
kembali dengan membawa sebungkus kondom dan gel
pelicin. Ia lumurkan gel itu ke kontolnya, lalu ia
memakai kondom itu. Di atas kondom itu, ia lumurkan
lagi gel itu dengan maksud agar lebih licin.
Selanjutnya, ia masukkan kontolnya ke anusku senti
demi senti. Aku mencoba menahan rasa sakit yang
ditimbulkan untuk meyakinkan Pak Sigit bahwa aku
baik-baik saja.
"Lepas saja kondomnya, Pak!" pintaku ketika Pak Sigit
berhasil membobol anusku beberapa kali.
"Tapi." jawab Pak Sigit.
"Lepas saja, Pak! Lebih nikmat tanpa kondom, kan?"
kataku dengan desah menggoda.

Akhirnya Pak Sigit bersedia melepas kondom dan
melanjutkan permainan. Beberapa saat berlalu, Pak
Sigit kuminta berhenti. Aku memposisikan diriku dengan
doggy style, kemudian kusuruh Pak Sigit untuk
memasukkan kontolnya kembali ke anusku. Ia mulai
merasakan kenikmatan nge-fuck anusku. Ia tampak
semakin lihai dalam menyodomi anusku. Aku mendesah dan
mendesis pelan, sementara Pak Sigit dengan kecepatan
konstannya merojok lubang kenikmatanku.

Merasa nikmat dengan posisi seperti ini, Pak Sigit
semula menolak untuk berganti posisi lagi. Setelah
melalui perdebatan kecil, akhirnya Pak Sigit mau
merojok anusku dengan posisi berhadapan denganku. Aku
tidur telentang dengan kaki ke atas dan badan Pak
Sigit berada di antara pahaku. Wajah kami berhadapan
sehingga Pak Sigit dengan mudah mendapat dua sensasi
sekaligus, yakni menyodomi dan mencumbu wajahku.

Nafas Pak Sigit menderu dan terasa sangat hangat di
wajahku ketika posisi itu telah kami jalani selama
beberapa saat. Kulingkarkan kakiku di pinggang Pak
Sigit, hingga ia bisa menyodokku lebih dalam. Tubuh
kami terbasahi keringat. Tanganku melingkari
punggungnya, hingga dada kami saling bergesekan.
Sementara, kulihat pantat Pak Sigit tak henti-hentinya
naik turun memompa maninya agar keluar dari pabriknya.
Kali ini, tampaknya Pak Sigit semakin mempercepat
gerakannya, juga gerakan pantatku yang mengimbangi
goyangannya.

"Ugh.. egh.. nggh.. A.. ku.. aakh.. ah.. keluaarr!"
kalimat itu terlontar begitu saja dari mulut Pak Sigit
saat ia mengeluarkan pejuhnya di anusku.
Pak Sigit masih terus memompa anusku di saat-saat
orgasmenya. Ia keluarkan kontolnya dari anusku,
kemudian menggesek-gesekkannya dengan kontolku yang
masih belum sempat memuntahkan lahar putihnya.
Tampaknya Pak Sigit menyadari bahwa aku belum
mengalami orgasme. Lantas ia menyuruhku berpindah
tempat sejenak, dan ia sandarkan tubuhnya ke sandaran
ranjang. Segera setelah itu, ia tarik tubuhku hingga
punggungku menempel pada dadanya. Ia peluk dan ciumi
aku sebentar, lalu ia meludah pada kedua tangannya dan
menyuruhku berbuat hal yang sama.

Setelah itu, Pak Sigit meraih batang kontolku dan ia
genggam dengan tangan kirinya yang penuh ludah.
Sementara itu, tangan kanannya memainkan kedua buah
zakarku, hingga aku merasa sangat nikmat dibuatnya.
Merasakan nikmat yang ditimbulkan oleh sentuhan tangan
kasar Pak Sigit, membuatku agak lupa diri. Aku
menyandarkan kepalaku ke bahu Pak Sigit, dan kedua
tanganku meremas-remas rambutnya. Pak Sigit sendiri
selain memainkan kontolku, lagi-lagi ia menciumi
leherku. Bahkan, kurasakan ia membuat sebuah cupang di
leher bagian bawahku.

Tampaknya Pak Sigit sangat terlatih ngocok, terbukti
tangannya lihai memainkan kontolku. Tak hanya
dikocoknya, tapi juga diremas dan dipilinnya. Hal
tersebut terus dilakukannya sampai aku mencapai batas
maksimal. Dengan deras, aku menyemprotkan mani ke
udara dan akhirnya jatuh membasahi dada dan perutku.
Pak Sigit terus memilin dan meremas kontolku sampai
kontolku melemas. Mungkin karena kelelahan, kami
berdua tertidur dalam posisi yang masih sama dengan
posisi terakhir, sampai akhirnya Pak Sigit terbangun
dengan sendirinya.

Ia memintaku menginap malam itu di rumahnya. Sebuah
mimpi yang menjadi nyata bagiku, menggantikan posisi
istri Pak Sigit sampai keesokan harinya. Memang benar,
Pak Sigit mempunyai tenaga yang kuat. Sampai sebelum
tidur malam bertelanjang di bawah satu selimut dan
dalam satu pelukan, kami ber-intim sebanyak dua kali.
Satu kali ia nge-fuck di antara pahaku, karena anusku
sudah terlalu lelah. Dan saat ayam jantan berkokok, ia
membangunkan aku untuk ngemut kontolnya dan kembali
nge-fuck pahaku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar